Sidoarjo, 17 Juni 2025 – Di tengah sesi-sesi penuh diskusi hangat dalam gelaran SILASMA 2025, hadirin di Aula Mas Mansyur Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dibuat terpukau oleh satu pemaparan yang tak biasa. Materi itu datang dari Mochammad Tanzil Multazam, Direktur Perpustakaan Umsida, yang menyampaikan gagasan berani: mengembalikan perpustakaan sebagai rumah ilmu — bukan hanya tempat menyimpan buku.
Dengan nada bicara yang hangat dan narasi yang mengalir seperti cerita, Tanzil membawa peserta menyelami perjalanan sejarah ilmu pengetahuan, dari kejayaan Bayt al-Hikmah di Baghdad hingga kelahiran Royal Society di Inggris. Namun alih-alih semata bernostalgia, ia justru menyulut semangat baru: Bayt al-Hikmah 4.0 — visi perpustakaan masa depan yang terbuka, kolaboratif, dan strategis dalam ekosistem riset kampus.

Pustakawan Bukan Lagi Penunggu Rak
“Dulu pustakawan menciptakan ilmu. Kini saatnya kembali menjadi penggerak ilmu,” ujar Tanzil, yang juga dikenal sebagai co-founder komunitas jurnal ilmiah terbesar di Indonesia dan Asia.
Ia menekankan bahwa pustakawan masa kini harus lebih dari sekadar penjaga literatur. Mereka adalah navigator pengetahuan, mitra peneliti, pengelola data, dan fasilitator publikasi ilmiah.
“Ilmu tidak cukup hanya dengan laboratorium. Ia juga butuh rumah. Dan rumah itu adalah perpustakaan,” ucapnya disambut anggukan setuju para peserta.
Lihat juga: Perpustakaan UMSIDA Perkenalkan Etika Penggunaan Generative AI di Forum Internasional
Dari Bayt al-Hikmah ke Royal Society: Dua Kutub Ilmu yang Terpisah
Dalam pemaparannya, Tanzil membandingkan dua lembaga besar dunia: Bayt al-Hikmah sebagai model terpadu perpustakaan dan riset, serta Royal Society sebagai pemisahan peran ilmu dan pustaka.
Bayt al-Hikmah, yang berjaya di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, menjadi tempat ilmuwan dan pustakawan berkolaborasi langsung. Di sana, ilmuwan seperti Al-Khwarizmi dan Hunayn ibn Ishaq bekerja berdampingan dengan pustakawan dalam mencipta dan menyebarkan ilmu. Sementara Royal Society, yang berdiri di Inggris pada abad ke-17, menekankan eksperimen dan sains tetapi memisahkan perpustakaan dari ruang-ruang penciptaan ilmu.
“Kita seperti mewarisi dua kutub yang terpisah: perpustakaan jadi gudang literatur, riset berjalan sendiri tanpa dokumentasi kuat,” tegas Tanzil.
Bayt al-Hikmah 4.0: Visi untuk Perpustakaan Masa Depan

Gagasan Bayt al-Hikmah 4.0 menjadi inti dari presentasinya. Ia mengajak semua pustakawan untuk merombak cara pandang: dari pelayan informasi menjadi co-researcher, dari pengarsip menjadi kurator data ilmiah, dari penyendiri di balik rak menjadi mitra aktif dalam tim riset.
Beberapa langkah konkret yang ia usulkan antara lain:
- Melibatkan pustakawan dalam tim riset institusi
- Meningkatkan kapasitas dalam publikasi ilmiah dan data science
- Menyusun kebijakan universitas yang menjadikan perpustakaan sebagai pusat pengembangan keilmuan
Lihat juga: Direktur Perpustakaan UMSIDA Memberikan Guest Lecture di Kazakhstan
Perpustakaan Umsida: Bukan Wacana, Tapi Aksi
Yang membuat materi ini lebih dari sekadar teori adalah kenyataan bahwa Perpustakaan Umsida sudah memulainya. Dalam sesi tersebut, Tanzil menunjukkan bagaimana perpustakaan di bawah kepemimpinannya telah rutin terlibat dalam diseminasi karya dosen, mendampingi proses publikasi, dan menguatkan peran pustakawan sebagai mitra akademik.
“Kami ingin menunjukkan bahwa kolaborasi bukan mimpi. Ia bisa dimulai dari hal-hal kecil, dan berkembang menjadi budaya kampus yang sehat,” katanya.
SILASMA Jadi Momentum Kebangkitan Perpustakaan PTMA
Materi ini tidak hanya menyentuh sisi intelektual peserta, tetapi juga sisi emosional mereka. Di akhir sesi, banyak pustakawan dari kampus lain yang menyatakan terinspirasi dan siap membawa semangat Bayt al-Hikmah 4.0 ke institusi masing-masing.
“Kita tak sedang membicarakan masa lalu. Kita sedang menulis masa depan,” ujar Tanzil menutup presentasinya, disambut gemuruh tepuk tangan.
SILASMA 2025 menjadi saksi bahwa perpustakaan tidak sedang tertinggal oleh zaman. Ia sedang bersiap, bersama para pustakawan seperti Mochammad Tanzil Multazam, untuk kembali ke garis depan peradaban.